Sutradara dan penulis skenario: Hanung Bramantyo
Pemain: Lukman Sardi, Zaskia Adya Mecca, Giring Nidji, Slamet Rahardjo, Ihsan Tarore
Produksi: MVP Pictures
------
Gulungan karton berukuran satu meter persegi itu dibentangkan di dinding. Sebuah gambar peta dunia. Di hadapan para kiai sepuh yang memandangnya sinis, pemuda 21 tahun itu dengan tegas mengatakan arah kiblat semua masjid dan langgar harus diubah. Dengan sebuah kompas, dia menunjukkan arah kiblat yang selama ini diyakini ke barat ternyata bukan menghadap ke Ka’bah di Mekah, melainkan ke Afrika. “Tak perlu mengubah arah masjid, cukup menggeser posisi kiblat saja,” katanya.
Usul itu kontan membuat para kiai, termasuk penghulu Masjid Agung Kauman, Kiai Cholil Kamaludiningrat (Slamet Rahardjo), meradang. Ahmad Dahlan, anak muda yang lima tahun menimba ilmu di Kota Mekah, dianggap membangkang aturan yang sudah berjalan selama berabad-abad lampau. Apalagi bukan sekali ini Ahmad Dahlan (Lukman Sardi) membuat para kiai naik darah.
Dalam khotbah pertamanya sebagai khatib, dia menyindir kebiasaan penduduk di kampungnya, Kampung Kauman, Yogyakarta. “Dalam berdoa itu cuma ikhlas dan sabar yang dibutuhkan, tak perlu kiai, ketip, apalagi sesajen,” katanya. Walhasil, Dahlan dimusuhi. Dahlan, yang piawai bermain biola, dianggap kontroversial, bahkan disebut-sebut sebagai kiai kafir. Langgar kidul di samping rumahnya, tempat dia salat berjemaah dan mengajar mengaji, bahkan sempat hancur diamuk massa lantaran dianggap menyebarkan aliran sesat.
Meski sempat putus asa, Dahlan, yang juga dituduh sebagai kiai kejawen karena dekat dengan organisasi Boedi Oetomo, tetap pada niat awalnya: menyebarkan ajaran Islam secara benar. Islam sebagai agama yang mampu memperbaiki kesejahteraan masyarakat melalui pendidikan, rahmatan lil alamin, bukan agama mistik dan takhayul seperti anggapan kalangan Eropa dan kaum modern saat itu. Maka, bersama istri tercinta, Siti Walidah (Zaskia Adya Mecca), dan lima murid setianya, Sudja (Giring Nidji), Sangidu (Ricky Perdana), Fahrudin (Mario Irwinsyah), Hisyam (Dennis Adishwara), dan Dirjo (Abdurrahman Arif), dia membentuk organisasi Muhammadiyah pada 19 November 1912.
Inilah sepenggal kisah Ahmad Dahlan (1868-1923) yang tersaji dalam film Sang Pencerah. Film garapan sutradara Hanung Bramantyo itu membawa kita mengenal lebih dekat tokoh pendiri Muhammadiyah yang selama ini namanya lebih dikenal sebagai nama jalan semata. Selama 109 menit, kita diajak menyelami pergulatan fisik dan pemikirannya, sejak anak-anak hingga dewasa.
Lihatlah bagaimana Dahlan muda (diperankan penyanyi jebolan Indonesian Idol, Ihsan Tarore) gundah dengan tradisi yang berlaku di kampungnya yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan kenakalan khas remaja, dia kerap mencuri makanan yang diletakkan warga kampung di bawah pohon besar sebagai sesajen untuk dibagikan ke fakir miskin.
Sebagai sebuah biografi, Sang Pencerah mampu menghadirkan tontonan yang menarik. Meskipun alur cerita terkadang lambat, plot yang menarik, konflik-konflik yang dibangun sepanjang cerita, bumbu kekonyolan, serta tata musik yang digarap serius mampu membuat penonton betah di tempat duduknya. Apalagi didukung para pemain yang mampu menunjukkan akting yang cukup maksimal. Lukman Sardi, yang tampil sebagai pemuda pejuang dalam film Darah Garuda yang juga dirilis hari ini, mampu menghadirkan sosok Ahmad Dahlan yang karismatik. Kualitas akting maksimal juga ditunjukkan para pemain lainnya, seperti Slamet Rahardjo, termasuk Ikranegara dan Yati Surachman, yang tampil cuma sebentar.
Hanung, yang pernah menggarap Ayat-ayat Cinta dan Perempuan Berkalung Sorban, mengaku tidak mudah melayarlebarkan tokoh sebesar Ahmad Dahlan. “Banyak cerita, sisi humanis ataupun kehidupan pribadinya, yang tidak diketahui dan dipahami bahkan oleh orang-orang yang dekat dengan beliau,” kata Hanung, yang mengaku sampai 12 kali mengubah naskah skenarionya. Begitu pula karakter tokoh-tokoh lain, seperti Nyai Ahmad Dahlan ataupun sang ayah, Kiai Abu Bakar.
Sebagai sutradara, Hanung juga dituntut untuk menghidupkan atmosfer dan lanskap Yogyakarta pada akhir 1800-an. “Kami harus membangun satu set yang menggambarkan Kota Yogyakarta pada zaman Ahmad Dahlan. Lalu bagaimana kami set Kota Yogya itu pada sekitar 1924, termasuk bangunan masjid besar,” alumnus Institut Kesenian Jakarta ini memaparkan. Selain dilakukan di Yogyakarta, syuting digelar di Museum Kereta Api Ambarawa dan kompleks Kebun Raya Bogor yang disulap menjadi Jalan Malioboro lengkap dengan Tugu Yogyakarta. Maka tak mengherankan bila dana yang dikeluarkan untuk pembuatan film ini lumayan besar, sekitar Rp 12 miliar.
Mengembalikan dan mereka ulang bangunan Masjid Agung Kauman, Kota Gede, Bintaran, dan wilayah keraton seratus tahun silam dengan bangunan set lokasi serealistis jelas bukan pekerjaan mudah. Untuk menyiasati biaya, Hanung juga banyak melakukan retouching dari setting lokasi yang tersedia. “Jadi, kalau ada bangunan tua, kami tuain lagi, misalnya lantai marmer dibikin sedemikian rupa jadi terlihat seperti lantai tanah,” Hanung menerangkan. Di beberapa adegan, misalnya saat Dahlan beribadah haji, Hanung juga menggunakan potongan film dokumenter lama yang didapatnya dari Perpustakaan Nasional.
Selain itu, biaya besar dibutuhkan untuk kostum pemain. Misalnya, pakaian batik yang dikenakan pemain mesti sesuai dengan batik pada 1900. Jarik atau kain panjang sengaja didesain khusus untuk film Sang Pencerah sesuai dengan motif yang memang dikenal pada 1900-an; termasuk perlengkapan sorban yang sengaja dibuat sendiri untuk keperluan syuting.
Oleh: NUNUY NURHAYATI