Empat orang dosen yang mengajarku dikelas S2-ku yang ‘kesekian’ di Fakultas Ekonomi Bisnis, Universitas Gajah Mada semuanya orang hebat, rendah hati, sangat down-to-earth, serta mampu mentransfer seluruh ilmu yang sejujurnya belum pernah saya miliki sebelumnya untuk kujadikan bekal didalam menjalani kehidupan sesungguhnya diluar kampus – didalam/diluar negeri – yang lebih sering sangat tidak ramah kepada kita semua tanpa terkecuali. Namun ciri yang menjadi diferensiasi mereka masing-masing dari keempat dosen tersebut didalam mengajar, menjadikan kenangan yang unik-berbeda bagiku. Saya akan memulainya dengan Bu Dra. Anita Lestari, MSi seorang psikolog yang mengajarkan beberapa psychology approaches untuk mata kuliah OB (Organizational Behavior).
Bu Anita yang lembut sapa tersebut mengajarkan antara lain tentang pentingnya arti beradaptasi ditempat kerja, menjembatani jurang pembeda, mampu membuat keputusan penting disaat genting, dan lain sebagainya. Juga ada beberapa pelajaran yang menyangkut ilmu system yang sebelumnya telah saya dapatkan di kelas Doktor PSL, IPB saya ulang kembali dengan pemahaman yang tentu lebih baik melalui kelas Bu Anita ini.
Malah ilmuku dimasa kuliah di IPB lalu, diperkaya dengan ilmu Leadership yang merupakan style didalam sebuah management/tata kelola di UGM. Bahkan ketika saya menuliskan final individual paper kemarin, saya mengusung tentang seorang pemimpin yang wajib membantu sebuah tata kelola buntu didalam pencurian kayu hutan/illegal logging di Indonesia melalui ‘tangan besi’ kepemimpinanan hukum dalam system. Bahwa liberalisasi melalui jargon novus ordo seclorum didalam lembaran $1 US, hanya mampu di’patahkan’/dibuat lebih seimbang – sustainable development – bilamana sang pemimpin utama mempunyai visi dan misi kuat didalam decision making-nya.
Mungkin saya termasuk salah satu mahasiswi yang paling kritis dikelas. Bahkan ada sebuah kejadian lucu sehingga nama saya kerap dipanggil Bu Anita dengan julukan “Marissa si Sarung NU,” ceritanya gara-gara kami sekelas diminta untuk menebak sebuah gambar yang memiliki minimal 24 makna didalamnya. Nah, begitu sudah mencapai tebakan ke 15 kami dikelas mulai stuck dan ‘agak-agak’ mulai ‘ngaco.’ Entah dapat ide darimana saya hanya melihat dua tumpuk lilitan diatas gambar mirip nenek-nenek itu seibarat sorban yang terbuat dari kain sarung untuk sholat warna kotak-kotak hijau yang sering dipakai keluarga besar NU-ku di Jawa Timur. Spontan saja saya menjawab: “Sarung NU Bu Anita…” Tentu seisi kelas tertawa terbahak-bahak, tak terkecuali Bu Anita. Dan lengkaplah sudah setelah itu nama saya sering terpanggil dengan “Marissa Sarung NU.” Pernah juga Bu Anita saya puji kelihatan sangat manis ketika pakai jilbab warna hijau – yang memang lain dari kebiasaannya yang lebih sering didominasi jilbab putih atau coklat.
Namun ada yang tak akan pernah saya lupakan seumur hidup – karena yang ini tak pernah dilakukan oleh para dosen lainnya – adalah disaat beberapa kali Bu Anita hadir dikelas khusus membawakan kami Bapia isi beraneka macam rasa. Terharu-biru kami sekelas menikmati jajanan khas Yogyakarta tersebut. Dari berbagai isi yang ada didalamnya, saya menyukai yang isi keju. Sehingga biasa sering ber-email-ria dengan beliau dan ditanyakan mau dibawakan apa dari kampung halamannya, maka spontan kami dikelas mengatakan: ”Bapia Buuuuu…” Kalau sekarang saya ditanya maka akan mengatakan hal yang sama namun dengan sedikit diferensiasi: ” Bapia Isi Keju Buuuuu…” (smile).
Ah!… ngangeni memang kelas Bu Anita itu… tak sabar rasanya untuk bersegera kembali kuliah di FEB, UGM. Libur selama 3 minggu ini rasanya sungguh terlalu lama. Memang terbukti, bahwa sekolah yang baik, respectable university dengan management yang baik serta tidak korup – terkait dengan pidana pendidikan – akan membuat siapapun stakeholders didalamnya merasa betah serta ingin memberikan karya terbaik yang mampu dihasilkannya sebagai anak bangsa.
Terimakasih banyak Bu Anita yang saya sayangi… terimakasih FEB, UGM… jazakumullah khoir… God bless you all.